Pada hari Jumat, 26 Juni 2020, Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI menggelar webinar publik dengan topik “Cukai sebagai Instrumen Pengendalian Rokok dan Update Kebijakan”. Webinar kali ini menghadirkan empat pembicara, yaitu Dr. Abdillah Ahsan (Direktur SDM UI), Dr. Rohani Budi Prihatin (Peneliti Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI), Ir. Nur Hadi Wiyono, M.Si. (Manajer Informasi Kependudukan Lembaga Demografi FEB UI), dan Meita Veruswati, M.K.M. (Peneliti Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat FKM UI, Dosen FIKES UHAMKA). Webinar ini diikuti oleh 350 peserta dari berbagai instansi.

 

Penjelasan pertama disampaikan oleh Dr. Abdillah Ahsan mengenai Dasar-dasar Kebijakan Cukai, DBHCHT, dan Pajak Rokok Daerah. Dalam paparannya, Bapak Abdillah menyampaikan bahwa kebijakan cukai rokok dapat berperan sebagai bentuk intervensi kegagalan pasar, bagian dari kebijakan fiskal, serta sebagai instrumen pengendalian rokok.

 

Bapak Abdillah juga menyampaikan bahwa berdasarkan praktik di negara lain, seperti di Brazil dan Amerika Serikat, ketika harga rokok meningkat, prevalensi rokok menurun. Di Prancis, selain penurunan prevalensi merokok, peningkatan harga rokok juga diikuti dengan penurunan kematian akibat kanker paru-paru. Di Afrika Selatan, peningkatan cukai diikuti dengan peningkatan penerimaan negara. Hal ini juga terjadi di Indonesia, terlebih pada tahun 2020 ketika terdapat kenaikan tarif cukai yang signifikan.

 

Pada kesempatan berikutnya, Ibu Meita Veruswati menyampaikan materi mengenai Ekstensifikasi, Maksimalisasi, dan Alokasi: Upaya Perbaikan Cukai ke Depan. Dalam paparannya, Ibu Meita menyampaikan bahwa dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia tergolong ke dalam negara yang mengenakan cukai sangat terbatas, yakni hanya pada tiga jenis barang kena cukai (alkohol, etil alkohol, dan hasil tembakau) selama 25 tahun, sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih fleksibel untuk melakukan penambahan barang kena cukai (BKC).

 

Selain itu, terkait dengan cukai rokok itu sendiri, saat ini aturan mengenai tarif cukai maksimum sebesar 57% dalam UU No 37 Tahun 2009 menjadi faktor yang mempunyai peranan besar dalam bertahannya harga rokok yang rendah di Indonesia, padahal studi menunjukkan bahwa berdasarkan studi tahun 2010 yang dilakukan pada 20 negara-negara berkembang menunjukkan bahwa ketika harga rokok naik 10%, konsumsi rokok pada anak remaja usia 14 tahun menurun hingga 18%. Ibu Meita mengakhiri pemaparan beliau mengenai maksimalisasi cukai dengan memberikan rekomendasi kebijakan penghapusan tarif cukai maksimal dalam UU Cukai.

 

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Bapak Nur Hadi Wiyono mengenai Rokok Ilegal. Beliau menyampaikan bahwa estimasi rokok ilegal yang diproduksi di Indonesia sekitar 8% dari pangsa pasar di tahun 2013. Mengapa rokok ilegal menjadi sebuah isu? Rokok ilegal pada umumnya dijual dengan harga yang rendah, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat dan berimplikasi pada peningkatan konsumsi rokok. Bapak Nur Hadi selanjutnya menekankan bahwa dalam rangka menurunkan prevalensi merokok, pemerintah perlu menaikkan cukai secara konsisten sembari mengimbangi pemantauan dan operasi penegakan hukum pada produsen rokok ilegal.

 

Terkait dengan penegakan hukum atas rokok ilegal, pemapar materi terakhir, Bapak Rohani Budi yang mengangkat topik Reformasi Kelembagaan Cukai menyampaikan bahwa ketika cukai dinaikkan, rokok ilegal juga seringkali meningkat. Sehingga, pengawasan harus diperketat terutama bagi kantor cukai di wilayah-wilayah yang paling banyak memproduksi rokok serta di wilayah-wilayah dengan prevalensi merokok yang tinggi. Selanjutya, Bapak Rohani Budi menyampaikan bahwa KPI atau key performance indicator Direktorat Cukai seharusnya dinilai berdasarkan konsumsi rokok masyarakat, yakni ketika konsumsi rokok menurun.

Selengkapnya, saksikan rekaman webinar ini melalui laman Youtube PEBS FEB UI: https://youtube.com/c/PEBSFEBUI

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *