Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi laki-laki dewasa merokok di Indonesia mencapai 62,8%. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan prevalensi laki-laki merokok tertinggi kedua di dunia. Padahal, kematian yang disebabkan oleh penyakit yang terkait dengan perilaku merokok menyumbang lebih dari 21% penyakit kronis di Indonesia, dengan estimasi 14,7% atau sekitar 225.720 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh rokok.
Seiring dengan beban kesehatan yang ditimbulkan, konsumsi rokok juga menimbulkan beban ekonomi yang berat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit yang terkait dengan perilaku merokok semakin membebani program jaminan kesehatan negara. Diperkirakan pengeluaran kesehatan untuk membiayai penyakit terkait rokok mencapai 1,2 miliar USD (17 triliun rupiah) per tahun atau sekitar 8% dari pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan. Secara tidak langsung, konsumsi rokok menyebabkan penurunan kualitas kesehatan yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan produktivitas. Hal ini tentu memberikan tantangan yang semakin besar bagi negara, terutama dalam menghadapi bonus demografi.
Tingginya angka prevalensi merokok di Indonesia salah satunya disebabkan oleh keterjangkauan harga rokok. Seberapa terjangkau kah rokok di Indonesia? Apa kaitan antara keterjangkauan rokok dengan instrumen pengendalian konsumsi rokok, yakni cukai? Dan apakah hal yang dapat dilakukan untuk menjaga keterjangkauan rokok pada tingkat yang rendah?
Baca selengkapnya: Mengurangi keterjangkauan rokok di Indonesia