Kebijakan proteksionisme baru yang diperkenalkan dalam agenda Trump 2.0 kembali mengguncang pasar global dengan fokus utama pada pembatasan impor dan upaya revitalisasi sektor manufaktur dalam negeri Amerika Serikat. Meskipun kebijakan ini ditujukan kepada negara-negara seperti Tiongkok, dampaknya jauh lebih luas, menyentuh hampir seluruh negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bagi Indonesia, yang memiliki potensi sebagai kekuatan ekonomi halal terbesar di dunia, tantangan ini harus dihadapi dengan cermat. Tanpa strategi yang jelas dan terstruktur, Indonesia berisiko kehilangan peluang untuk menempatkan diri sebagai aktor utama dalam rantai pasok global halal yang semakin berkembang. Keberhasilan dalam merespons proteksionisme ini akan sangat menentukan posisi Indonesia di pasar global yang semakin kompetitif.
Tantangan: Daya Saing dan Risiko Relokasi
Di tengah tekanan kebijakan proteksionisme global yang semakin tajam, Trump 2.0 memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk menyusun ulang posisi dalam pasar global halal. Walaupun ada hambatan tarif yang lebih tinggi, ada juga celah yang dapat dimanfaatkan dengan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi halal yang besar dan potensial.
Tarif 32% dari AS pada produk Indonesia membuat harga ekspor lebih mahal, mengurangi daya saing produk kita di pasar global. Tanpa langkah antisipasi, produk Indonesia berisiko tersingkir dari pasar yang semakin kompetitif. Indonesia harus memperkuat efisiensi dan daya saing agar bisa tetap relevan di pasar internasional.
Isu sertifikasi halal juga menjadi hambatan non-tarif (NTB) yang menghambat akses produk Indonesia ke pasar tujuan. Tanpa kesepahaman standar internasional, proses sertifikasi menjadi lebih rumit dan mahal. Hal ini memperlambat ekspansi produk halal Indonesia, terutama ke pasar yang sudah memiliki regulasi ketat.
Perusahaan multinasional juga berpotensi merelokasi pabrik ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Kenya atau Bangladesh. Relokasi ini mengancam industri halal domestik Indonesia dan bisa menurunkan kapasitas produksi, menghambat upaya industrialisasi halal di dalam negeri.
Peluang: Reposisi, Diversifikasi, dan Teknologi
Di tengah kebijakan proteksionisme yang semakin menguat, Indonesia dihadapkan pada peluang strategis untuk memperkuat posisi di pasar halal global. Meskipun ada tantangan tarif tinggi, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan ceruk pasar baru dengan menawarkan produk halal yang kompetitif. Dengan langkah cepat dan strategi yang tepat, Indonesia bisa mereposisi dirinya sebagai pemimpin industri halal global.
Pertama, dengan tarif 46% yang diterapkan AS terhadap seafood halal dari Vietnam, Indonesia memiliki kesempatan untuk merebut ceruk pasar baru. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu bergerak cepat dengan mempercepat sertifikasi halal ekspor, memperkuat rantai dingin, dan meningkatkan konektivitas pelabuhan halal.
Kedua, Indonesia harus diversifikasi pasar ekspor dengan memperluas akses ke Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan, yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk halal. Penguatan diplomasi ekonomi dan harmonisasi standar halal akan mempercepat penetrasi pasar ini.
Ketiga, Indonesia perlu mengintegrasikan teknologi dan prinsip ESG (lingkungan, sosial, tata kelola) untuk meningkatkan daya saing global. Pengembangan sistem blockchain halal traceability dan penerapan prinsip keberlanjutan akan memberikan nilai tambah yang memastikan produk halal Indonesia tidak hanya memenuhi standar hukum, tetapi juga lebih kompetitif di pasar internasional.
Solusi Strategis: Ekspor, Diplomasi, dan Pasar Domestik
Untuk menjawab tekanan proteksionisme global secara terstruktur, Indonesia membutuhkan pendekatan strategis berbasis tiga pilar solusi utama: diversifikasi ekspor, penguatan kerja sama internasional, dan penguatan pasar domestik. Ketiganya bukan sekadar pelengkap, melainkan respons kunci dalam membangun ketahanan dan daya saing industri halal nasional.
Pertama, diversifikasi ekspor perlu ditempatkan sebagai strategi prioritas. Ketergantungan pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadikan Indonesia rentan terhadap gejolak kebijakan unilateral.
Untuk itu, ekspor halal harus diarahkan ke pasar-pasar alternatif seperti Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan yang memiliki permintaan tinggi namun pasokan dalam negeri terbatas. Ekspansi ke wilayah ini tidak hanya membuka akses baru, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemasok utama produk halal global.
Kedua, penguatan kerja sama internasional merupakan solusi institusional jangka menengah dan panjang. Harmonisasi standar halal lintas negara, mutual recognition agreement (MRA), serta keterlibatan aktif dalam platform multilateral seperti OIC dan ASEAN sangat penting untuk memastikan standar halal Indonesia diakui secara luas.
Diplomasi halal harus diarahkan bukan hanya pada pengakuan formal, tetapi juga fasilitasi perdagangan, pembukaan pasar baru, dan penyederhanaan proses ekspor. Tanpa pendekatan kolaboratif antar negara, penetrasi pasar akan selalu menghadapi kendala struktural.
Ketiga, penguatan pasar domestik harus menjadi solusi struktural jangka panjang. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pasar halal domestik yang sangat besar.
Namun, konsumsi produk halal berkualitas dalam negeri belum optimal. Pemerintah perlu mendorong penggunaan anggaran belanja negara untuk produk halal nasional, memperkuat literasi halal konsumen, dan mempercepat pengembangan kawasan industri halal yang menyasar kebutuhan domestik.
Pendekatan tripartit ini juga sejalan dengan temuan Indonesia Sharia Economic Outlook (ISEO) 2025, yang merekomendasikan pentingnya penguatan daya saing ekspor, pengembangan diplomasi halal, dan pemberdayaan UMKM halal berbasis ekosistem dalam negeri. Bila dijalankan secara bersinergi, ketiga solusi ini dapat membentuk fondasi ketahanan halal Indonesia di tengah tekanan global yang kian kompleks.
Strategi: Ekosistem UMKM dan Pembiayaan Syariah
Menurut ISEO 2025, penguatan peran UMKM adalah kunci. Saat ini, 60% sertifikat halal berasal dari skema self-declare oleh UMKM. Namun tantangan UMKM tetap berat: terbatasnya pembiayaan, beban sertifikasi, dan akses pasar ekspor. Maka, dibutuhkan dukungan menyeluruh.
Pemerintah perlu mengintegrasikan program pembiayaan syariah UMKM, memperluas akses ke skema murabahah ekspor, dan mendorong pendirian dana ventura syariah.
Selain itu, kawasan industri halal (KIH) harus menjadi pusat inkubasi UMKM ekspor halal. Kinerja KIH seperti di Cikande atau Bintan yang masih di bawah 20% kapasitas perlu dibenahi.
Diplomasi dan Kebijakan: Dari Pasar Menjadi Pemimpin
Langkah strategis berikutnya adalah memperkuat diplomasi halal Indonesia. Harmonisasi standar halal dengan negara-negara OIC dan ASEAN harus menjadi agenda utama. Insentif fiskal seperti tax holiday untuk industri halal ekspor dan subsidi sertifikasi halal bagi UMKM perlu diperluas.
Kolaborasi antara BPJPH, Kemenlu, dan pelaku usaha halal perlu difokuskan untuk memperluas pengakuan sertifikasi halal Indonesia secara internasional.Pembukaan pasar baru harus diarahkan pada kemitraan dengan negara-negara berkembang dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan.
Saatnya Indonesia Memimpin
Krisis proteksionisme global tidak boleh direspons dengan pasif. Justru saat inilah Indonesia harus mengambil posisi kepemimpinan dalam ekonomi halal dunia.
Dengan keberanian politik, sinergi kelembagaan, dan strategi yang adaptif, Indonesia bisa bertransformasi dari pasar menjadi produsen unggulan.
Trump 2.0 adalah ujian — sekaligus peluang — untuk membuktikan bahwa industri halal Indonesia siap naik kelas secara global.
Rahmatina Awaliah Kasri, Ph.D
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI
Dr. Risna Triandhari
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI