Jakarta, 17 Maret 2025 – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) melalui Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS FEB UI) sukses menyelenggarakan Launching Policy Brief bertajuk Penguatan Ekosistem dan Regulasi Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia untuk Memasuki Pasar OECD. Acara ini menjadi bagian dari upaya akademik dan kebijakan dalam memberikan rekomendasi konkret terhadap tantangan dan peluang keuangan syariah Indonesia dalam konteks aksesi ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Diskusi ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk regulator, akademisi, pelaku industri, serta perwakilan organisasi internasional, guna membahas strategi dalam memperkuat daya saing industri keuangan syariah Indonesia agar lebih kompetitif di tingkat global.
Saat ini, Indonesia tengah berupaya untuk menjadi anggota OECD sebagai bagian dari strategi besar dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional dan meningkatkan standar tata kelola keuangan. Aksesi ini diharapkan membuka peluang yang lebih luas terhadap pasar global, meningkatkan kepercayaan investor, serta mendorong adopsi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekonomi dan keuangan syariah memiliki peran strategis sebagai pilar penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Namun, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar industri keuangan syariah, khususnya di sektor asuransi syariah, dapat berkembang lebih pesat dan sesuai dengan standar OECD terkait keterbukaan pasar, transparansi, serta tata kelola yang baik (Good Corporate Governance).
Diskusi Multistakeholder: Regulasi dan Ekosistem Keuangan Syariah dalam Aksesi OECD
Acara ini dibuka dengan Welcoming Remarks oleh Teguh Dartanto, Ph.D., Dekan FEB UI, yang menyoroti pentingnya reformasi kebijakan untuk memperkuat daya saing industri keuangan syariah dalam persiapan menuju OECD, diikuti oleh Opening Remarks dari Samuel Hayes, Head of Economics & Digital, British Embassy Jakarta, yang menekankan pentingnya kerja sama internasional, khususnya hubungan bilateral Inggris-Indonesia dalam mendukung pertumbuhan sektor keuangan syariah.
Teguh Dartanto menjelaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD bertujuan memperkuat daya saing ekonomi, meningkatkan tata kelola keuangan nasional, serta membuka akses lebih luas ke pasar global guna menarik investor dan mendorong kebijakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah menjadi pilar utama dalam mewujudkan pertumbuhan berkeadilan, sebagaimana tercermin dalam RPJMN 2025-2029 yang menetapkan penguatan ekonomi syariah sebagai salah satu dari delapan prioritas nasional. Upaya ini diperkuat melalui penyesuaian regulasi, peningkatan literasi keuangan syariah, serta kerja sama internasional, khususnya dengan Inggris, guna mengembangkan industri keuangan syariah yang inovatif, kompetitif, dan berstandar global.
Samuel Hayes dalam sambutannya menyampaikan bahwa studi ini, mencerminkan komitmen Inggris terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan aspirasinya untuk menjadi anggota OECD, khususnya dalam memperkuat kerangka regulasi keuangan Indonesia di bidang Asuransi Syariah. Perjalanan menuju aksesi OECD mengharuskan Indonesia untuk mengadopsi best practices global dalam regulasi Asuransi Syariah, dengan menekankan pada keterbukaan pasar, transparansi, dan stabilitas keuangan. Dengan menyelaraskan pada standar OECD, Indonesia akan meningkatkan daya tariknya bagi investor. Melalui dialog berkelanjutan, pengembangan kapasitas, dan kemitraan strategis, Inggris tetap berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia dalam menciptakan pasar asuransi syariah yang lebih inklusif, kompetitif, dan tangguh yang menguntungkan perekonomian kedua negara dan memperkuat kerja sama bilateral.
Peluang Aksesi OECD bagi Industri Keuangan Syariah: Meningkatkan Daya Saing dan Mendorong Reformasi Regulasi
Sebagai bagian dari agenda utama, Rahmatina Awaliah Kasri, Kepala PEBS FEB UI, mempresentasikan Policy Brief yang merangkum hasil kajian mendalam mengenai tantangan struktural dalam industri keuangan syariah, khususnya pada sektor asuransi syariah. Dokumen ini memberikan rekomendasi strategis bagi regulator dan pelaku industri dalam mempercepat pertumbuhan industri asuransi syariah agar lebih kompetitif di tingkat global.
Dalam paparannya, Rahmatina menyoroti bahwa industri asuransi syariah menunjukkan tren pertumbuhan positif, meskipun masih tertinggal dibandingkan asuransi konvensional. Hingga Desember 2024, jumlah pelaku industri mencapai 59 perusahaan, terdiri dari 17 perusahaan full-fledged dan 42 unit usaha syariah (UUS), dengan total aset mencapai Rp46,55 triliun atau meningkat 5,13% sejak 2020. Namun, industri ini masih menghadapi berbagai tantangan baik dari sisi permintaan, penawaran maupun ekosistem. Dari sisi permintaan, rendahnya literasi dan inklusi keuangan, daya beli masyarakat yang terbatas, serta rendahnya keberlanjutan kepesertaan dan pembayaran premi menjadi hambatan utama. Dari sisi penawaran, industri menghadapi kendala seperti ketentuan modal minimum yang membebani UUS, kapasitas reasuransi syariah yang masih terbatas, serta produk yang kurang terdiferensiasi dari asuransi konvensional. Selain itu, keterbatasan tenaga ahli di bidang asuransi syariah juga menjadi tantangan tersendiri. Dari sisi ekosistem, industri masih terkendala minimnya instrumen investasi syariah, rendahnya imbal hasil, regulasi yang membatasi investasi luar negeri, serta perlakuan pajak yang belum setara. Dengan aksesi Indonesia ke OECD dan penyelarasan regulasi dengan best practices global, diharapkan industri asuransi syariah dapat berkembang lebih cepat, inklusif, dan berkelanjutan, serta mampu bersaing di tingkat internasional.
Di tengah peluang aksesi Indonesia ke OECD, Prof. Telisa Aulia Falianty, Guru Besar FEB UI, menyoroti ketertinggalan Indonesia dalam pengembangan sektor keuangan dibandingkan negara-negara OECD. Keanggotaan dalam OECD dapat memberikan manfaat, seperti membantu keluar dari middle income trap, mempercepat transisi menuju negara maju, serta memperoleh panduan tata kelola yang lebih baik. Beliau juga menekankan perlunya harmonisasi regulasi keuangan syariah dengan standar OECD untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan pasar. Peningkatan daya saing industri keuangan syariah membutuhkan sinergi antara regulator, pelaku industri, dan fintech syariah, didukung oleh reformasi perizinan investasi, penyederhanaan regulasi, serta penguatan inovasi produk, digitalisasi layanan, dan kampanye edukasi guna memperluas akses dan pemahaman masyarakat. Selain itu, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara OECD serta mendorong posisinya sebagai pusat keuangan syariah global melalui sertifikasi dan promosi internasional yang dapat meningkatkan daya saing industri keuangan syariah di kancah global.
Djonieri, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, menyoroti perkembangan industri asuransi syariah di Indonesia sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing keuangan syariah dalam menghadapi standar OECD. Secara agregat, industri ini mencatat pertumbuhan aset 4,25% (yoy) menjadi Rp 46,55 triliun per Desember 2024, dengan total kontribusi naik 21,07% (yoy) menjadi Rp 30,32 triliun dan klaim meningkat 7,89% (yoy) menjadi Rp 21,13 triliun. Namun, industri ini masih menghadapi tantangan, seperti defisit reasuransi Rp10 triliun akibat keterbatasan kapasitas modal, pangsa pasar yang hanya 3%—di bawah Turki yang telah tergabung dalam OECD—serta kendala harga produk yang kurang kompetitif, keterbatasan kapasitas, perbedaan opini DPS terhadap fatwa MUI, dan masih banyaknya lembaga keuangan syariah yang menggunakan asuransi konvensional. OJK telah melakukan berbagai upaya, seperti kajian regulasi, publikasi, serta program pelatihan TOT dan TOC, tetapi pengembangan lebih lanjut tetap memerlukan dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan. Meningkatkan daya saing industri keuangan syariah, termasuk asuransi syariah, menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam mempersiapkan aksesi ke OECD dan memperkuat posisinya sebagai pusat keuangan syariah global.
Dari kacamata legislatif, M. Kholid, Anggota Komisi XI DPR RI, menyampaikan bahwa ekonomi syariah saat ini sudah menjadi alternatif, tetapi belum ada aksi konkret dalam implementasinya, terutama pada level pemangku kebijakan, petinggi BUMN, dan pemerintah daerah. Literasi ekonomi dan keuangan syariah terus meningkat meskipun masih terdapat kesenjangan yang tinggi dengan keuangan konvensional. Ia mengusulkan agar literasi keuangan syariah lebih ditargetkan kepada kepala daerah. Komisi XI DPR RI telah mengusulkan Undang-Undang Omnibus Ekonomi Syariah untuk mengatasi hambatan (bottleneck) regulasi dan menyatukan sistem, sehingga dapat mempercepat perkembangan ekonomi syariah dengan lebih baik. Disinilah pentingnya dukungan afirmatif dari pemerintah agar ekonomi syariah bisa berkembang dengan dorongan pemerintah, tidak hanya secara alamiah.
Anatomi Muliawan, Pengurus Bidang Kanal Distribusi Jiwa Syariah, Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) memaparkan dari perspektif asosiasi atau pelaku usaha, ada beberapa tantangan asuransi syariah dalam menghadapi pasar OECD. Hambatan utama meliputi pemahaman masyarakat yang terbatas tentang prinsip syariah, kendala operasional dalam pengembangan produk dan teknologi, serta keterbatasan sumber daya. Persaingan ketat dengan layanan konvensional dan terbatasnya variasi produk juga menghambat pertumbuhan. Untuk mengatasi ini, Ia menyatakan bahwa perlu dukungan regulator seperti OJK untuk memperkuat regulasi berbasis data akurat terkait penjualan polis, karakteristik nasabah, dan pencegahan fraud. OJK juga melakukan practice sharing dengan negara lain dan mendorong perbaikan tata kelola agen. Sentralisasi data fraud menjadi fokus untuk mendeteksi kecurangan. Di tengah persaingan ketat, perusahaan asuransi syariah perlu membedakan diri dengan proposisi nilai yang unik serta dukungan regulasi yang kuat dari OJK.
Sebagai penutup, diskusi ini menegaskan bahwa langkah-langkah penguatan ekosistem dan regulasi ekonomi syariah harus dilakukan secara holistik, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Keanggotaan Indonesia dalam OECD akan membuka peluang besar bagi industri keuangan syariah, namun kesiapan regulasi, daya saing produk, serta kapasitas SDM menjadi faktor kunci dalam menentukan keberhasilan industri ini di kancah global. Dengan adanya kolaborasi antara pemerintah, regulator, industri, dan akademisi, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan potensi besar ekonomi dan keuangan syariah sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
📩 salam@pebs-febui.org
🌐 www.pebs-febui.org
📱 Instagram: @pebs.febui | @ukindonesia