Menjadi bulan yang penuh berkah, tidak mengherankan jika umat Islam menantikan dan menyambut bulan Ramadhan dengan sukacita. Selama sekitar 30 hari ini, kita dapat menyaksikan betapa istimewanya bulan ini. Ramadhan mampu memberi pengaruh positif bagi setiap muslim dan bahkan non-muslim dalam berbagai aspek. Dalam tingkatan individu, aspek spiritual merupakan salah satu yang ingin diraih oleh setiap Muslim. Bulan Ramadhan menjadi waktu bagi umat Islam untuk mempererat hubungan dengan Tuhan melalui peningkatan ibadah, termasuk puasa, sholat, membaca Al-Quran, dan refleksi diri. Terlebih pahala yang dilipatgandakan semakin menjadi penguat umat muslim untuk meningkatkan iman selama bulan Ramadhan.
Selain dampak spiritual, bulan Ramadhan juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Contoh konkret dapat dilihat melalui zakat. Islam mewajibkan umatnya membayar zakat fitrah dan zakat maal untuk mensucikan diri dari dosa. Zakat fitrah wajib dibayarkan di bulan Ramadhan, sementara zakat maal biasanya dibayarkan umat Islam Indonesia di bulan Ramadhan (walaupun sebenarnya boleh dibayarkan kapanpun setelah harta mencapai nisab). Di sisi lain, zakat secara simultan juga membantu meringankan beban kaum fakir, miskin, dan mustahik lainnya. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sendiri menargetkan penghimpunan Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) mencapai Rp430 miliar selama Ramadhan 2024.
Selain zakat, umat Muslim juga berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, seperti berbagi sembako, berbagi makanan gratis untuk buka puasa, bersedekah, dan lain-lain. Pendistribusian harta dari kelompok mampu ini akan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat miskin, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan memenuhi kebutuhan pokok dan mengurangi kelaparan ekstrem. Oleh karena itu, Ramadhan juga menjadi waktu untuk memperkuat solidaritas di antara umat Muslim, meningkatkan kepedulian, dan mengurangi kesenjangan antar manusia.
Selain ritual keagamaan, hadirnya Ramadhan juga dapat memberikan dampak bagi perekonomian. Selama Ramadhan, banyak sekali penyelenggaraan acara festival yang didukung oleh lembaga pemerintah ataupun swasta untuk memfasilitasi para UMKM menjualkan dagangannya, baik dari makanan dan minuman takjil hingga pakaian muslim. Semakin menjamurnya Usaha mikro dan kecil di berbagai daerah salah satunya dikarenakan adanya tradisi pembelian takjil menjelang buka puasa dan juga optimisme konsumen yang ditandai dengan terjaganya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 2022–2024 saat menjelang Ramadhan. Per Februari 2024, IKK mencapai 123,1 (Bank Indonesia, 2024).
Tingginya permintaan makanan dan minuman takjil ini tidak hanya disebabkan oleh umat Muslim yang berpuasa, tetapi bahkan masyarakat non-Muslim juga ikut meramaikan kegiatan ini. Hal ini diketahui karena tengah viralnya beberapa konten masyarakat non-Islam yang ikut “takjil war” atau berburu takjil sehingga menambah saingan untuk warga Muslim. Momentum bulan Ramadhan ini memiliki potensi besar dalam pengembangan industri UMKM yang pada akhirnya akan berkontribusi sangat besar pada perekonomian.
Secara umum di pertengahan bulan ramadhan akan terjadi dua hal besar yang akan berdampak pada perekonomian. Pertama, pekerja muslim akan menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Penerimaan THR ini memiliki rentang jumlah bervariasi dengan minimal jumlah 1 kali gaji (bila sudah bekerja selama setahun) dan maksimal diberikan seminggu sebelum lebaran sehingga akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bisa dibelanjakan (disposable income). Kedua, umumnya sebagian besar masyarakat yang tinggal di kota akan kembali ke kampung halaman (mudik) untuk merayakan lebaran bersama sanak saudara dan keluarga.
Kementerian Perhubungan telah memprediksi pergerakan mudik masyarakat di tahun 2024 berpotensi mencapai 71,7% dari jumlah penduduk atau sebanyak 193,6 juta orang. Bisa dipastikan potensi perputaran uang yang akan dibelanjakan selama mudik ini sangatlah besar yaitu mencapai rata-rata 24,5% terhadap jumlah uang tunai yang beredar dalam setahun. Hal ini memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang signifikan, khususnya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi regional atau bahkan desa sehingga berpeluang terjadi pemerataan ekonomi antar wilayah di Indonesia.
Selain itu, karena dua hal besar tersebut pengeluaran pemerintah biasanya terjadi penurunan, sementara pendapatan meningkat. Hal ini disebabkan berkurangnya operasional pemerintah, sedangkan aktivitas ekonomi masyarakat meningkatkan penerimaan pajak dan pendapatan pemerintah. Dinamika ganda ini memungkinkan konsolidasi keuangan pasca-Idul fitri dalam penyediaan layanan publik. Lebih lanjut, pertumbuhan PDB (QoQ) juga signifikan sering terjadi pada kuartal yang termasuk dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Selama periode ini, PDB riil tanaman pangan, peternakan, dan produsen tekstil lebih tinggi dibandingkan kuartal yang tidak ada bulan Ramadan dan Idul Fitri nya (Bank Syariah Indonesia, 2024).
Mengingat adanya peningkatan pendapatan, masyarakat muslim cenderung akan mengalami peningkatan konsumsi terutama menjelang Idul Fitri. Berdasarkan data Susenas (2023), rata-rata nasional pengeluaran per individu selama Ramadhan meningkat hingga Rp2,88 juta, yang mana di bulan selain ramadhan yaitu sebesar Rp2,16 juta. Hal ini ditandai dengan beberapa tradisi khas ketika ramadhan seperti menyiapkan makanan untuk sahur dan buka puasa bersama dengan teman atau sanak saudara, membuat kue kering, masak besar-besaran dalam menyambut hari raya, hingga membeli atribut lebaran seperti baju atau alat sholat baru.
Terjadinya fenomena perubahan pola konsumsi ini terlihat mempengaruhi nilai inflasi secara musiman. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa tingkat inflasi Maret 2024 lebih tinggi dari pada bulan sebelumnya yaitu secara tahunan (year on year/yoy) tercatat 3,05%, dan bulanan (month to month/mtm) sebesar 0,52%. Peningkatan nilai inflasi tersebut disebabkan karena adanya lonjakan permintaan bahan pokok, makanan dan minuman lainnya, pakaian dan bahkan jasa transportasi. Secara historis, peningkatan harga barang dan jasa akan berlangsung hingga sepekan menjelang hari raya Idul Fitri.
Menanggapi ketidakstabilan harga barang/jasa saat bulan Ramadhan, khususnya untuk bahan pokok, selain dikarenakan adanya penimbunan oleh beberapa oknum distributor/pedagang, tradisi/kegiatan sebagian masyarakat seperti masak besar-besaran atau membeli “atribut” lebaran juga seringkali kurang terkontrol. Terjadinya kenaikan pendapatan biasanya akan menggeser perilaku konsumsi seseorang dari barang/jasa kebutuhan primer ke kebutuhan non primer. Bagi beberapa orang, momentum Ramadhan bisa saja dijadikan kesempatan untuk melakukan peningkatan belanja/konsumsi pada barang tertentu.
Sementara dalam Islam, perilaku konsumsi perlu diperhatikan kembali karena harus berlandaskan maslahah atau sesuatu yang memberikan kemanfaatan atau berkah. Selain itu juga memperhatikan prioritas kebutuhan seperti dharuriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan tersier), tidak boros dan tidak berlebih-lebihan (Qs. Al-A’raf ayat 31-32). Sebagai umat muslim pada dasarnya perlu mengontrol diri dan menyadari bahwa bulan Ramadhan sebaiknya digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Allah SWT, dan dapat mengesampingkan hal-hal duniawi.
Secara menyeluruh, ramadhan memberikan dampak yang besar bagi individu maupun perekonomian secara keseluruhan. Peningkatan konsumsi yang terjadi selama ramadhan, terutama jika individu berbelanja ke UMKM, akan menggerakkan roda perekonomian untuk terus tumbuh. Tradisi mudik juga tidak hanya menjalin silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara, tetapi juga mendorong kegiatan ekonomi di daerah yang diharapkan akan menstimulasi pemerataan ekonomi antar wilayah. Di sisi lain, peningkatan konsumsi selama ramadhan akan memicu peningkatan harga barang, terutama bahan pokok, atau bahkan sampai meningkatkan konsumsi barang/jasa yang non esensial. Untuk itu, umat Muslim juga perlu mengawasi konsumsi yang berjalan saat ramadhan dengan lebih sadar akan barang/jasa apa yang akan dikonsumsi dan apakah hal itu berlebihan atau tidak.